Bagaimana Perasaanmu Hari Ini?

Hari ini aku tidak punya alasan untuk bersedih. Tidak ada juga alasan untuk bahagia. Jadi kubuat perkara sendiri. Masih pukul setengah 6 pagi dan kuucap janji sederhana: "jika gerobak bubur ayam Jakarta di depan toko Eiger buka, maka aku akan berbahagia." 

Seringkali ia tutup di hari Minggu, kadang Selasa, kadang Kamis, sesuka penjualnya. Namun lebih sering tutup di hari Minggu. Tentu saja, hari ini adalah hari Minggu.

Aku jalan kaki setelah mengalahkan rasa malas. Entah beruntung entah sial, hari ini gerobak bubur ayam itu buka. Minggu pagi kumulai dengan menyantap seporsi kenikmatan. 


Seperti biasa, kupesan tanpa kacang. Abang penjual bubur meletakkan semangkok dengan kacang di dalamnya. Ia mungkin lupa, mungkin tidak mendengarku dengan jelas, atau mungkin pikirannya sedang mengembara entah di mana. 

Aku seringkali memaklumi kesalahan kecil. Meski tidak sesuai inginku, rasa-rasanya tidak adil untuk merasa marah hanya karena ada kacang di dalam mangkok. 

Aku selalu percaya, setiap orang berusaha mengendalikan banyak hal dalam satu waktu: tangannya, kakinya, mulutnya, matanya, kupingnya, hatinya, dan isi kepalanya. Lelah betul memang, tapi hanya segelintir yang mampu membuat seluruhnya terkendali penuh. 

Kuyakini, barangkali tukang bubur sedang kewalahan mengendalikan isi kepalanya, atau tangannya, atau hatinya, atau seluruhnya. Tidak mengapa, aku maklum. Satu sendok pertama yang masuk ke mulutku mengingatkan kembali janji sederhana: “jika gerobak bubur ayam Jakarta di depan toko Eiger buka, maka aku akan berbahagia." 

Sudah pukul setengah 7 pagi, tapi masih sepi. Hanya ada aku sendiri. Sepasang suami istri kemudian datang dan memesan makan. Suami membeli semangkok bubur, dan si istri membeli nasi kuning di gerobak penjual nasi kuning sebelah bubur ayam. Kami duduk tidak terlalu jauh. Aku bahkan memesan teh hangat pada penjual nasi kuning karena penjual bubur hanya menjual bubur saja. Ia cukup idealis; sekali bubur hanya bubur hehe.

Aku memakan bubur sambil menimbang-timbang, haruskah menambah setusuk sate telur atau tidak. Aku tidak ingin kenyang berlebihan di pagi hari. Sate telur atau tidak. Sate telur atau tidak. Saat itulah, tiba-tiba penjual nasi kuning memulai percakapan dengan suami istri. 

Pak penjual nasi kuning menceritakan kisah hidupnya. Ia bilang, dirinya adalah seorang pecinta. Ia punya istri dua. Istri pertama dinikahinya 39 tahun lalu, istri kedua dinikahinya 24 tahun lalu. Ketiganya hidup bahagia sampai hari ini. Pak penjual nasi kuning jatuh cinta pada keduanya, dan merasa hidupnya sangat beruntung. Ia juga menambahkan, ia suka bercinta dengan keduanya, sampai hari ini. 

Mereka tertawa bersama. Pak penjual nasi kuning dan suami istri. Aku yang hanya mencuri dengar percakapan, berusaha tidak ikut tertawa. Hanya saja, menahan senyum begitu sulit. Bibirku tertarik ke atas, tersenyum tipis. Memang benar ternyata, kebahagiaan mudah sekali menular. 


Rasa-rasanya, aku memang paling menikmati ketika sendirian di antara banyak orang, terutama saat makan. Aku suka sekali mendengarkan cerita-cerita orang, yang mereka lemparkan sambil makan. Masih menikmati bubur ayam, aku melirik langit. Mendung, sepertinya akan hujan setelah ini. 

Tadi malam aku tidak bisa tidur, jika hujan turun aku tidak akan merasa bersalah tertidur lelap di Minggu pagi bukan? Suami istri itu selesai lebih dulu, membayar, lalu berpamitan dengan pak penjual nasi kuning. Mereka akan pulang ke Medan sore nanti setelah selesai mengantarkan anak satu-satunya masuk kuliah di UGM. 


Aku sudah selesai makan, tapi masih perlu menghabiskan 3/4 teh panas di gelas. Sambil berusaha menenangkan riuh di kepala, aku kembali melirik langit. Sial sekali. Tadi ia berwarna abu-abu gelap, kini mulai biru cerah dengan bercak awan putih tersebar. 


Sepertinya cuaca ikut menguping percakapan pak penjual nasi kuning dengan suami istri Medan tadi hingga tertular bahagia, langsung cerah seketika. Aku jadi berasa bersalah merencanakan tidur lelap di pagi yang cerah. Sial betul. 


Janjiku yang sederhana akan tetap tunai. Aku berbahagia karena gerobak bubur ayam Jakarta di depan toko Eiger buka. Tanpa sadar, gelas tehku sudah kosong. Kubayar makan dan minumku. Aku pulang dengan jalan kaki lagi, lalu menuliskan ini. 

Tentu saja aku tidak akan tidur di pagi yang cerah. 

Oh, iya, tadi aku makan sate telur, satu tusuk. 

Komentar