Kabar Duka Itu Tiba

Aku terlampau sering menyaksikan ibu menangis. Dia sentimental tak tertandingi. 

Menangis menjadi bagian lekat dari dirinya, dan salah satu caranya merayakan hidup. Ibu menangis bukan hanya ketika sedih tapi juga saat perasaannya meluap-luap. Dia menangis dengan berbagai macam alasan; saat merasa anaknya durhaka tanpa obat, mendengar cerita keponakannya yang dimadu suami, nonton film Keluarga Cemara, ayam peliharaannya bertelur, serta berbagai hal simpel lainnya. 

Sementara ayah adalah laki-laki berkepala batu yang bahkan tidak mengaduh kesakitan saat sarafnya terjepit dan hanya menahan sekuat tenaga sampai mukanya kebiruan hampir pingsan. Mereka mungkin kombinasi yang tepat. 

Jadi, jangan salahkan diriku yang tidak terlalu terkejut mendapati ibu menangis. Sampai kabar duka itu tiba. Ibu menelpon sambil menangis tersedu-sedu. Aku menanggapi dengan santai tanpa prasangka. Ibu hanya menangis dan menyuruh pulang. Ayahku yang lebih tenang menjelaskan, Kuni mati di klinik hewan. 

Kami punya dua kucing di rumah yang dirawat ibuku seperti dia merawat anaknya sendiri. Satu ekor betina berwarna putih bernama Cimoy dan satu jantan abu-abu belang bernama Kunimex. Keduanya dipelihara sejak mereka masih kecil. Cimoy didapat karena pemberian seorang teman. 

Sementara Kuni adalah kucing yang kami temukan di jalan. Mungkin saat itu usianya baru 3 bulan. Dia mengeong kesakitan dan kakinya terluka parah. Terkaku, Kuni tertabrak kendaraan. Kami pun membawanya ke rumah sakit hewan, lalu setelah sembuh dia resmi jadi anggota keluarga termuda di rumah. 

Kematian Kuni termasuk mendadak. Dia tiba-tiba saja hanya berbaring lemas tidak mau makan dan minum seharian. Bahkan sekadar mengeong pun tak sanggup. Setelah dibawa ke klinik hewan, ternyata Kuni gagal ginjal. Sempat dirawat beberapa hari, Kuni akhirnya tetap tidak tertolong. Padahal, terakhir aku menengok rumah, Kuni terlihat lincah dan sehat. 

Setelah kabar duka itu tiba, aku pulang lalu kemudian disusul adikku. Kami memakamkan Kuni di samping rumah. Kali ini, ibu menangis cukup lama. Kami menemani dia dan dengan sabar mendengarkan dia mengulang berbagai cerita tentang Kuni. 



Pada akhirnya kalimat itu muncul dari mulut ibu. Obat penenang untuk dirinya yang merasa kehilangan peliharaan kesayangan. 

"Mungkin memang begitu jalannya. Semua yang hidup pasti mati. Kita harus ikhlas. Semoga aku memang sudah ngasih yang terbaik buat Kuni. Jadi dia pergi dengan tenang." 

Tentu saja, setelah kalimat itu diucapkan, ibu menangis lagi. 

Selamat jalan Kunimex. Terima kasih sudah menyempatkan hadir di dunia dan membersamai keluarga kami. Sampai jumpa di kehidupan lain. Kami sayang Kuni. 

Komentar