Selamat Ulang Tahun, Cig.

Foto ini milik pribadi

Kuberi kado untuk diri sendiri: sepotong 'Walau' milik Sutardji Calzoum Bachri. Meski telah kubaca ratusan kali, perasaan yang sama selalu hadir setiap menginjak baris terakhirnya. Perasaan yang gagap kubahasakan dengan satu dua kata. Perasaan itu kudefinisikan seperti sesaat setelah kembang api yang meledak di langit lenyap, seperti saat baru selesai memakai jas hujan tiba-tiba langit cerah terang benderang, seperti saat menyuap makanan yang sedang diinginkan tepat ketika lapar (bukan ketika belum lapar atau sudah sangat lapar). 

Puisi ini selalu membuatku terkenang-kenang, bahwa kita bukanlah siapa-siapa bahkan jika sudah bermanfaat bagi orang lain. Barangkali, puisi ini pula yang mengingatkanku untuk selalu meletakan rasa sombong di laci lemari, tak perlu dibawa ke mana-mana untuk ditunjukkan. 

Walau penyair besar

takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan

dalam diri

sekarang tak

kalau mati

mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat

tujuh puncak membilang-bilang

nyeri hari mengucap-ucap

di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah

alif bataku belum sebatas allah










Komentar

Posting Komentar